Sabtu, 17 November 2012

manajemen klasik

BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Seperti diketahui ilmu manajemen berkembang terus hingga saat ini. Ilmu manajemen memberikan pemahaman kepada kita tentang pendekatan ataupun tata cara penting dalam meneliti, menganalisis dan memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan manajer.. Teori Manajemen Klasik pertama kali diperkenalkan oleh Frederick  W. Taylor. Pada hakekatnya teori manajemen klasik menekankan pada pentingnya pendekatan proses dan produksi.

Para teoritis klasik menekankan pentingnya “rantai perintah” dan penggunaaan disiplin, aturan dan supervisi ketat untuk merubah organisasi-organisasi agar beroperasi lebih efisien. Teori klasik memberikan petunjuk “mekanistik” struktural yang kaku, bukan kreativitas.

Begitu pula dengan seorang konselor, konselor harus melakukan manajemen dengan disiplin dan supervisi yang ketat supaya menjadi terkordinasi dengan baik. Dengan penggunaan mekanisme yang terstruktur diharapkan kinerja konselor akan lebih jelas dan terarah. Oleh karena itu konselor perlu mempelajari teori manajemen klasik.
 
1.2    Rumusan Masalah
    Dalam makalah ini, masalah yang akan dibahas berhubungan dengan teori manajemen klasik agar diperoleh suatu pemahaman yang lebih dalam tentang tema yang diambil makan penulis akan menekankan pada tiga pokok permasalahan :
1.2.1 Siapakah yang mempelopori teori manajemen klasik ?
1.2.2 Apa saja pokok teori manajeman kalasik ?
1.2.3 Apa saja kelebihan dan keterbatasan teori manajemen klasik ?
1.2.4 Bagaimana penerapan teori manajemen klasik dalam bimbingan dan konseling ?

1.3    Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun tujuan pembuatan makalah yang penulis lakukan adalah :
1.3.1 Untuk mengetahui Teori Manajemen Klasik
1.3.2 Untuk memenuhi tugas mata kuliah manajemen bimbingan dan konseling

1.4    Manfaat Pembuatan Makalah
    Dari pembuatan makalah ini dapat diambil manfaat yaitu, mahasiswa pascasarjana BK Unnes lebih memahami tentang teori manajemen klasik.


















BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Pelopor Ilmu Manajemen Klasik
Berikut ini para tokoh yang sangat besar jasanya dalam meletakkan dasar-dasar manajemen sebagai ilmu.
1.    Frederick  W. Taylor (1856-1915)
Taylor ialah orang pertama yang mengembangkan manajemen ilmiah. Ia seorang ahli mesin yang memulai perkerjaannya di pabrik baja Midvale Steel Company Philadelphia (USA) sebagai perkerja biasa selama enam tahun Pada tahun 1886, ia meneliti usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas kerja berdasarkan waktu dan gerak. Ia berpendapat bahwa efisiensi perusahaan rendah karena banyak waktu dan gerak-gerak buruh yang tidak produktif. Hasil penelitiannya disajikan di depan kongres Sarjana Teknik Amerika, kemudian di tulis dalam bukunya yang berjudul, The Principles of Scientific Management. Begitu pentingnya buku tersebut bagi para buruh dan manajer maka pada tahun 1911 diterbitkan oleh sebuah penerbit. Semenjak itu, Taylor dikenal sebagai Bapak Manajemen Ilmiah.
2.    Henry Fayol (1841-1925)
Fayol menjadi manajer utama di pabrik tambang dan metalurgi yang sangat terkenal di Eropa. Fayol yakin bahwa kesuksesannya merupakan keterampilan mengembangakan pengalaman dan inropeksi. Ia mengarang buku "General and Industrial management". Pada tahun 1916, dengan sebutan teori manajemen klasik yang sangat memperhatikan produktivitas pabrik dan pekerja, disamping memperhatikan manajemen bagi satu organisasi yang kompleks, sehingga beliau menampilkan satu metode ajaran manajemen yang lebih utuh dalam bentuk cetak biru. Fayol berkeyakinan keberhasilan para manajer tidak hanya ditentukan oleh mutu pribadinya, tetapi karena adanya penggunaan metode manajemen yang tepat.

3.    Max Weber (1864-1920)
Konsep model birokrasi berasal dari Sosiolog Jerman Max Weber, yang banyak menghasilkan karya tulis pada tahun 1900-1920 yang kemudian terkenal sebagai Bapak Birokrasi. Teori Birokasi ini muncul sekitar Perang Dunia I di mana sering terjadi pertentangan antar buruh. Istilah birokrasi berasal dari bahasa prancis, bureau yang berarti meja. Pengertian meja ini berkembang menjadi kekuasaan yang diwenangkan di meja-meja kantor.

2.2    Pokok Teori Manajemen Klasik
Teori dan prinsip manajemen pada dasarnya sudah ada sejak manusia berusaha untuk mencapai tujuan melalui bekerjasama dalam kelompok. Hal seperti ini dapat dijumpai pada catatan dari orang Mesir, Yunani, Baghdad, pengalaman dan administrasi dari organisasi militer dan para komeralis dari abad ke 14 sampai abad ke 18 yang kita sebut dengan manajemen jaman kuno.

Akan tetapi pengembangan teori dan prinsip manajemen baru terjadi pada abad ke 18 dan abad ke 19 yaitu dengan timbulnya Revolusi Industri yang menyebabkan tumbuhnya kebutuhan akan adanya pendekatan yang sistematik terhadap manajemen.
Teori manajemen klasik beranggapan bahwa manusia itu sifatnya rasional, berfikir logis, dan kerja merupakan suatu yang diharapkan. Oleh karena itu teori klasik berangkat dari premis bahwa organisasi bekerja dalam proses yang logis dan rasional dengan pendekatan ilmiah dan berlangsung menurut struktural atau anatomi organisasi. Teori manajemen klasik terbagi menjadi dua, yakni teori manajemen ilmiah dan teori organisasi klasik. Salah satu teori klasik adalah manajemen ilmiah yang dipelopori Federik W. Taylor. Taylor terkenal sebagai bapak manajemen ilmiah karena hasil penelitiannya yang telah dibukukan tentang usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas kerja berdasarkan waktu dan gerak pada tahun 1886, dijadikan sebagai pegangan penting bagi para pekerja.
Selain itu, Taylor telah memberikan prinsip-prinsip penerapan pendekatan ilmiah dalam manajemen dan mengembangkan teknik-teknik untuk mencapai efisiensi dan keefektifan organisasi. Ia berasumsi bahwa manusia dalam bekerja harus diawasi oleh supervisor secara efektif dan efisien. Peran supervisor harus diterapkan dengan maksimal. Sasaran pada pendekatan ini adalah kemakmuran maksimum bagi pengusaha dan karyawan.
Secara umum, kita memandang bahwa gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori Taylor diarahkan pada pencapaian produktivitas kerja yang tinggi, keuntungan yang lebih besar, biaya murah, dan sistem pengawasan mesin-manusia yang lebih efektif.
Pelopor teori manajemen klasik yang lain yaitu Henri Fayol yang lebih dikenal dengan teorinya organisasi klasik, yang menyatakan ada 5 pedoman manajemen yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengkomandoan, pengkoordinasian, dan pengawasan. Prinsip-prinsip pokok menurut Fayol:1) kesatuan komando, 2) wewenang harus didelegasikan, 3) inisiatif harus dimiliki seorang manajer, 4) adanya solidaritas kelompok. Prinsip-prinsip tersebut harus bersifat luwes. Selain itu, Fayol juga mengetengahkan empat belas prinsip administrasi yang sangat terkenal, yakni :
1.    Pembagian kerja (Dvision of Labor), yaitu semakin mengkhusus manusia dalam pekerjaannya, semakin efisien kerjanya, seperti terdapat pada ban berjalan.
2.    Otoritas dan tanggung jawab (Authority and Responsibility) diperoleh melalui perintah dan untuk dapat memberi perintah haruslah dengan wewenang formal. Walaupun demikian wewenang pribadi dapat memaksa kepatuhan orang lain.
3.    Disiplin (Discipline), dalam arti kepatuhan anggota organisasi terhadap aturan dan kesempatan. Kepemimpinan yang baik berperan penting bagi kepatuhan ini dan juga kesepakatan yang ada, seperti penghargaan terhadap prestasi serta penerapan sangsi hukum secara adil terhadap yang menyimpang.
4.    Kesatuan komando (Unity of Command), yang berarti setiap karyawan hanya menerima perintah kerja dari satu orang dan apabila perintah itu datangnya dari dua orang atasan atau lebih akan timbul pertentangan perintah dan kerancuan wewenang yang harus dipatuhi.
5.    Kesatuan pengarahan (Unity of Direction), dalam arti sekelompok kegiatan yang mempunyai tujuan yang sama yang harus dipimpin oleh seorang manajer dengan satu rencana kerja.
6.    Menomorduakan kepentingan perorangan terhadap terhadap kepentingan umum (Subordination of Individual interest to general interes), yaitu kepentingan perorangan dikalahkan terhadap kepentingan organisasi sebagai satu keseluruhan.
7.    Renumerasi Personil (Renumeration of Personnel), dalam arti imbalan yang adil bagi karyawan dan pengusaha.
8.    Sentralsiasi (Centralisation), dalam arti bahwa tanggung jawab akhir terletak pada atasan dengan tetap memberi wewenang memutuskan kepada bawahan sesuai kebutuhan, sehingga kemungkinan adanya desentralisasi.
9.    Rantai Skalar (Scalar Chain), dalam arti adanya garis kewenangan yang tersusun dari tingkat atas sampai ke tingkat terendah seperti tergambar pada bagan organisasi.
10.    Tata-tertib (Order), dalam arti terbitnya penempatan barang dan orang pada  tempat dan waktu yang tepat.
11.    Keadilan (Equity), yaitu adanya sikap persaudaraan keadilan para manajern terhadap bawahannya.
12.    Stabilitas masa jabatan (Stability of Penure of Personal) dalam arti tidak banyak pergantian karyawan yang keluar masuk organisasi.
13.    Inisiatif (Initiative), dengan memberi kebebasan kepada bawahan untuk berprakarsa dalam menyelesaikan pekerjaannya walaupun akan terjadi kesalahan-kesalahan.
14.    Semangat Korps (Esprit de Corps), dalam arti meningkatkan semangat berkelompok dan bersatu dengan lebih banyak.
Tokoh teori manajemen klasik berikutnya yakni Max Weber. Weber memandang dunia, khususnya masyarakat, secara sekular dan rasional. Di dalam membangun dan mengoperasikan suatu lembaga manusia yang terlibat di dalamnya, cenderung mendasarkan tindakannya pada pengetahuan, pengambilan keputusan rasional. Dia memandang birokrasi yang ada di organisasi merupakan alat yang sangat efisien dalam mengoperasikan organisasi-organisasi yang berskala besar, baik swasta maupun milik pemerintah.
Ciri-ciri pokok birokrasi ini adalah :
1.    Pembagian kerja yang tegas dan spesialisasi yang tinggi. Setiap biro yang ada di bawah berada di bawah kontrol yang lebih tinggi (hierarkis).
2.    Sistem pemerintahan diadministrasikan secara obyektif.
3.    Penempatan tenaga kerja, penugasannya didasarkan pada kualifikasi, bukan pada hubungan sanak famili atau favoritas.
4.    Adanya keamanan kerja bagi bawahan, dan
5.    Penggunaan catatan, dokumen, dan arsip-arsip secara ekstensif.
2.3    Kelebihan dan Keterbatasan Teori Manajemen Klasik
2.3.1    Kelebihan atau sumbangan teori manajemen klasik
Adapun kelebihan didalam teori manajemen klasik yaitu :
1.    Memberikan kontribusi mengenai pembentukan organisasi secara birokrasi atas dasar hierarki yang sampai saat ini masih banyak digunakan oleh ornanisasi-organisasi modern.
2.    Memberikan anatomi organisasi formal dengan empat unsur pokok yang selalu muncul dalam organisasi formal:
a.    Sistem kegiatan yang terkoordinasi.
b.    Kelompok orang.
c.    Kerjasama.
d.    Kekuasaan dan kepemimpinan.
3.    Memberikan tiang dasar penting dalam organisasi formal yaitu:
a.    Pembagian kerja (untuk koordinasi).
b.    Proses Skalar & Fungsional (proses pertumbuhan vertical dan horizontal).
c.    Struktur (hubungan antar kegiatan).
d.    Rentang kendali (berapa banyak atasan bisa mengendalikan bawahan).
4.    Adanya prinsif pembidangan tugas yang jelas (jurisdictional areas), umumnya diatur oleh hukum/peraturan-peraturan administrasi, yaitu:
a.    Adanya pembagian tugas yang jelas bagi apparatus birokrasi.
b.    Adanya pendelegasian wewenang.
c.    Setiap tugas yang dilaksanakan menuntut keahlian/keterampilan (spesialisasi).    Sehingga orang yang dapat diangkat menjadi aparat birokrasi adalah mereka yang mempunyai keahlian (kualifikasi).
5.    Memperhatikan adanya “rantai perintah” dan penggunaaan disiplin, aturan dan supervisi ketat untuk merubah organisasi-organisasi agar beroperasi lebih efisien.

2.3.2    Keterbatasan Teori Manajemen Klasik
Adapun keterbatasan didalam teori manajemen klasik yaitu :
1.    Menganggap manusia sebagai mesin yaitu manusia akan terus menerus bekerja keras dan memaksakan dirinya seperti robot jika diberi imbalan yang lebih. Padahal kenyataanya tidak begitu, manusia mempunyai perasaan cinta, rindu, sakit, dan sebagainya yang walaupun di beri imbalan pada saat tertentu mereka menolaknya
2.    Teori ini juga beranggapan bahwa jika pekerjaan seseorang semakin dispesialisasi, maka produktifitas mereka akan semakin bagus dan banyak (tinggi). Namun pada kenyataannya terdapat titik jenuh yang menurunkan produktifitas dari spesialisasi kerja manusia tersebut karena manusia mempunyai rasa bosan dan jenuh.
3.    Merangsang berfikir yang mengutamakan konformitas dan formalitas.
4.    Merupakan rutinitas yang membosankan padahal manusia mempunyai titik jenuh atau bosan terhadap suatu pekerjaan yan diulang terus-menerus secara monoton.
5.    Ide-ide inovatif tidak sampai kepada pengambil keputusan karena panjangnya jalur komunikasi hal ini disebabkan karena adanya sistem birokrasi yang panjang.
6.    Terlalu banyak aturan yang berbelit-belit .
7.    Kecenderungan menjadi orwelian, yaitu keinginan birokrasi mencampuri (turut melaksanakan) bukan mengendalikan urusan.
2.4    Penerapan Teori Manajemen Klasik Dalam Bimbingan dan Konseling
Penerapan Teori manajemen klasik dalam bimbingan dan konseling dikaitkan dengan program supervisi bimbingan dan koseling  yakni usaha untuk mengkoordinasikan dan menuntun pertumbuhan konselor secara berkesinambungan baik secara individual mampun secara kelompok supaya dapat memahami dan memberikan layanan secara efektif. Kegiatan supervisi tersebut seperti pengawasan terhadap layanan bimbingan dan konseling yakni mutu layanan sebagai proses memfasilitasi perkembangan siswa dalam aspek akademik. Selanjutnya melakukan pengawasan terhadap aspek manajemen program bimbingan dan konseling supaya siswa mendapatkan layanan bimbingan dan konseling yang bermutu dari konselor. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pengawasan terhadap konselornya sehingga terciptanya kondisi yang suportif untuk konselor yang bertujuan agar konselor mau belajar terus menerus untuk menyempurnakan kinerja profesionalnya.


BAB III
PENUTUP


3.1    Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Teori manajemen klasik terbagi menjadi dua, yakni teori manajemen ilmiah dan teori organisasi klasik. Tokoh sentral dari teori manajemen ilmiah adalah Frederick  W. Taylor sedangkan tokoh sentral dari teori organisasi klasik adalah Henry Fayol.
2.    Teori manajemen ilmiah berasumsi bahwa manusia dalam bekerja harus diawasi oleh supervisor secara efektif dan efisien. Peran supervisor harus diterapkan dengan maksimal. Sasaran pada pendekatan ini adalah kemakmuran bagi pengusaha dan karyawan. Dan teori organisasi klasik telah berhasil membuat manajemen menjadi sistematik. Teori ini berasumsi bahwa praktek manajemen mempunyai pola tertentu yang dapat diidentifikasi dan di analisis. Dari pemahaman dasar tersebut akan membantu dalam membuat rancangan untuk doktrin menajamen yang kompak.
3.    Teori manajemen klasik beranggapan bahwa manusia itu sifatnya rasional, berfikir logis, dan kerja merupakan suatu yang diharapkan. Oleh karena itu teori klasik berangkat dari premis bahwa organisasi bekerja dalam proses yang logis dan rasional dengan pendekatan ilmiah dan berlangsung menurut struktural atau anatomi organisasi.

3.2    Saran
Pengetahuan teori manajemen klasik merupakan hal yang penting. Harapan kami, setelah membahas tentang teori manajemen klasik tersebut, kita dapat mengembangkankan melalui pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Sehingga pada akhirnya konselor mampu membantu konseli secara optimal mencapai perkembangan yang optimal



























DAFTAR PUSTAKA


Husaini Usman. 2009.  Manajemen Teori,Praktik,dan Riset Pendidikan Edisi 3. Jakarta: Bumi Aksara

counseling theory










TEORI KONSELING
Pengertian Teori, Pentingnya Teori, dan Teori ke Praktik
Teori Konseling Psikoanalisis, Adlerian, dan Humanistik
Teori Tingkah Laku, Kognitif,Sistemik, Singkat,dan Krisis dari Konseling

Mata kuliah Pengembangan Profesi Konseling



Oleh:

Jontas Gayuh Panuntun     0105512053
Elliyan ti                            0105512067
Bety Vitriana                    0105512073




PASCASARJANA BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012

Daftar Isi


Kata Pengantar        i
Daftar Isi        ii
Bab 1 Pendahuluan        1
Bab II Pembahasan       
a.    Pengertian Teori       
b.    Pentingnya Teori       
c.    Teori ke Praktek       
d.    Teori Psikoanalisis       
e.    Konseling Adlerian       
f.    Teori Humanistik       
g.    Teori Tingkah Laku       
h.    Teori Kognitif       
i.    Teori Sistem       
j.    Teori Singkat       
k.    Teori Krisis       
Bab III Penutup       
Daftar Pustaka         
A.    Pengertian Teori
Teori adalah model yang dipengaruhi oleh konselor sebagai panduan untuk merumuskan pembentukan solusi atas suatu masalah. “Pemahaman teoretis adalah bagian esensial dalam praktek konseling yang efektif. Teori membantu konselor mengatur data klinis, membuat proses yang kompleks menjadi koheren, dan memberikan panduan konseptual untuk berbagai intervensi” (Hansen, 2006, P.291). Konselor menentukan teori yang akan digunakan berdasarkan latar belakang pendidikan, filosofi, dan kebutuhan kliennya. Tidak semua pendekatan tepat digunakan bagi semua konselor maupun klien. Sebagaian besar praktisi luar biasa juga mengembangakn sendiri teori konseling  berdasarkan pengalaman dan observasinya. Akan tetapi kebanyakan ahli teori masih merasa kurang yakin mengenai posisi mereka, setelah sadar bahwa tidak ada satu pun teori yang cocok untuk diterapkan pada semua situasi ataupun klien (Tursi & Cochran, 2006). Konselor harus memilih teori yang digunakan dengan hati-hati dan menilai ulang secara berkala.
Hansen, Stevic, dan Warner (1986) menyebutkan lima persyaratan teori yang baik:
1.    Jelas, Mudah dipahami, dan dapat dikomunikasikan. Koheren dan tidak bertentangan.
2.    Komprehensif. Mencakup penjelasan untuk fenomena yang sangat beragam.
3.    Eksplisit dan heuristik. Menghasilkan penelitian karena desainnya.
4.    Spesifik dalam menghubungkan pengertian pada hasil yang diinginkan. Berisi suatu cara untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan.
5.    Berguna bagi praktisi yang akan menggunkannya. Memberikan panduan bagi penelitian dan prakteiknya.
Sebagai tambahan lima kualitas tersebut, suatu teori yang baik bagi konselor adalah yang cocok dengan filosofi pribadinya dalam memberikan bantuan. Shertzer dan Stone (1974) menyebutkan bahwa teori konseling harus cocok dengan konselornya seperti ibaratnya pakaian.  Beberapa teori, seperti layaknya baju, membutuhkan perombakan. Oleh karena itu, konsleor yang efektif menyadari pentingnya perubahan. Konselor yang ingin bekerja efektif dan pandai menyesuaikan diri harus mempelajari beragam teori konseling, dan mengetahui bagaimana cara penerapannya tanpa menyalahi  konsistensi internalnya.



B.    Pentingnya Teori
Teori adalah fondasi dari konseling yang baik. teori menantang konselor untuk lebih kreatif dan peduli dalam batasan-batasan hubungan sangat pribadi yang terstruktur demi kemajuan dan pencerahan (Gladding, 1990). Tanpa latar belakang teori, konselor bertindak coba-coba tanpa arah, tidak efektif, dan membahayakan. Boy dan Pine menunjukkan enam fungsi teori yang membantu konselor dengan cara yang praktis:
1.    Teori membantu konselor menemukan persatuan dan kesinambungan dalam perbedaan eksistensi.
2.    Teori memaksa konselor untuk mengamati hubungan yang mungkin dia lewatkan sebelumnya.
3.    Teori memberikan pada konselor panduan operasional untuk digunakan dalam bekerja dan membantu konselor mengevaluasi perkembangannya sebagai seorang profesional.
4.    Teori membantu konselor memusatkan diri pada data yang relevan dan menunjukkan apa yang harus dicari.
5.    Teori membantu konselor mengevaluasi  pendekatan lama dan baru pada proses konseling. Ini adalah basis untuk membangun pendekatan konseling yang baru.
“kriteria utama bagi semua teori konseling adalah bagaimana teori dapat memberikan penjelasan atas apa yang terjadi pada proses konseling” (Kelly, 1988, P.212-213).

C.    Teori ke Praktek
Pada tahun 2008, terdapat lebih dari 400 sistem psikoterapi dan konseling diseluruh dunia (Corsini,2008). Jadi konselor mempunyai ragam pilihan teori yang luas untuk dipilih. Bagaimanapun juga seperti yang dikatakan Okun (1990), yang ditekankan dalam konseling saat ini adalah menghubungakn teori, bukannya menciptakan. Sebab tidak satupun sudut pandang teoritis yang dapat menyediakan semua jawaban bagi klien kita saat ini, sehingga konselor tampaknya secara pragmatis, luwes mengadaptasikan teknik dan intervensi-intervensi daripendekatan teoritis yang berbeda kedalam pekerjaannya, tanpa benar-benar menerima dasar sudut pandang beberapa teori. Ia juga mempertimbangkan faktor internal, eksternal, antarpersonal dan interpersonal ketika bekerja bersama klien.
Kebanyakan konselor profesional masa kini (diperkirakan 60% hingga 70%) menganggap dirinya eklektik dalam menggunakan teknik dan teori (Lazarus & Beutler, 1993). Yaitu menggunakan berbagai teknik dan teori untuk dicocokan dengan kebutuhan klien, sewaktu kebutuhan berubah, konselor berpindah dari teori yang digunakan ke pendekatan lainnya ini fenomena yang disebut konseling berganti gaya. Agar efektif konselor harus mempertimbangkan seberapa jauh kliennya mengalami kemajuan dalam perkembangan structural. Contoh, seorang klien yang tidak sadar akan perkembangan lingkungannya membutuhkan pendekatan terapi yang berfokus pada “emosi, tubuh dan pengalamannya disini dan sekarang”; sementara klien dengan tingkatan perkembangan yang lebih maju akan sangat cocok jika diberi pendekatan “operasi konsultasi formal”, yang menekankan pada pemikiran mengenai tindakan. Intinya adalah bahwa konselor dan teori harus dimulai dari tempat klien berbeda, membantu klien berkembang dalam pola yang benar dan utuh.
Sementara kekuatan eklektik terletak pada kemampuannya untuk menarik teori, teknik, dan praktik yang beragam untuk dicocokan dengan kebutuhan klien, pendekatan ini juga memiliki kekurangan. Contohnya, pendekatan elektik dapat membahayakan proses konseling jika konselor tidak familiar benar dengan semua aspek teori yang terlibat disini. Untuk menghadapi masalah ini, McBride dan Martin (1990) menyarankan adanya hierarki praktik dan mendiskusikan pentingnya mempunyai dasar teoretis yang kuat sebagai panduan.
Oleh karena itu setelah menilai klien dengan benar, konselor dapat menggunakan metode tingkah laku (seprti misalnya pelatihan asertif) dengan teknik eksistensial (seperti mengkonfrontasikan klien tentang arti kehidupannya) jika situasi memungkinkan. Pendekatan ini segaris dengan yang disarankan oleh Cavanagh (1990) sebagai suatu pendekatan eklektik yang sehat pada konseling. Disini konselor harus mempunyai :
a.    Pengetahuan yang cukup dan pemahaman akan teori akan teori konseling yang digunakannya.
b.    Filosofi dasar yang integrative akan perilaku manusia yang membawa bagian-bagian terpisah dari berbagai teori kedalam kombinasi yang memiliki arti
c.    Cara yang fleksibel untuk mencocokan pendekatan pada klien, bukan sebaliknya.

D.    Teori Psikoanalisis
Teori ini adalah yang pertama mendapat pengakuan dan penerimaan publik yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
-    Penemu/Pengembang : Sigmund Freud, seorang praktisi dari Vienna, ia adalah sosok yang selalu diasosiasikan dengan psikoanalisis, khususnya sekolah pemikir klasik.
-    Sudut pandang sifat manusia : Freud memandang sifat manusia sebagai sesuatu yang dinamis dengan transformasi dan pertukaran energy didalam kepribadiannya. Manusia mempunyai pikiran sadar (berhuungan dengan kesadaran terhadap dunia luar), pikiran pra-sadar (yang berisi kenangan-kenangan akan pengalaman yang tersembunyi atau terlupakan yang masih banyak diingat), dan pikiran bawah sadar (berisi naluri. Kekuatan yang terpendam). Menurut Freud, kepribadian terdiri atas tiga bagian:
a). id, (terdiri atas naluri dasar amoral, dan yang bekerja sesuai prinsip kesenangan)
     b). ego, (“pusat pikiran”, yang membuat keputusan secara sadar sesuai dengan prinsip kenyataan)
c). superego, (hati pikiran yang berisi nilai-nilai ajaran orangtua, agams dan bekerja sesuai dengan prinsip moral)
-    Peranan Konselor : profesional yang mepraktekan psikoanalisis klasik berfungsi sebagai seorang ahli. Mereka mendorong klien untuk membicarakan apa pun yang muncul dalam benaknya, khususnya pengalaman dimasa kanak-kanak. Untuk menciptakan atmosfir  yang membuat klien merasa bebas mengekspresikan pikiran yang menyusahkannya, ahli psikoanalisis,  setelah melewati beberapa sesi tatap muka, sering kali meminta kliennya untuk berbaring disofa sementara ahli analis tetap berbeda diluar bidang pandang klien (biasanya duduk dibelakang kepala klien).
-    Tujuan : tujuan psikoanalisis bervariasi bergantung pada klien, tetapi fokus utamanya pada penyesuaian pribadi, biasanya memicu reorganisasi  kekuatan internal didalam diri seseorang. Pada kebanyakan kasus tujuan utamanya adalah membantu klien agar lebih menyadari aspek-aspek tidak sadar dalam kepribadiannya dan untuk menghadapi  reaksi-reaksi kini yang mungkin disfungsional. Tujuan utama yang kedua adalah membantu klien menghadapi tahap perkembangan yang belum terpecahkan. Jika tercapai, kebuntuan yang dirasakan klien akan lenyap dan dia dapat hidup lebih produktif. Tujuan akhir psikoanalissi adalah membantu klien menghadapi tuntutan masyarakat tempat dimana ia hidup. Orang yang tidak bahagia menurut teori ini adalah orang yang tidak selaras dengan diri sendiri maupun masyarakat disekitarnya. Psikoanalisis menekankan pada penyesuaian lingkungan, khususnya pada bidang pekerjaan dan keintiman. Fokusnya adalah memperkuat ego sehingga persepsi dan rencana akan menjadi lebih realistis.
-    Teknik : asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis transference, analisis resistensi, dan interpretasi.
-    Kekuatan dan kontribusi :
•    Pendekatan ini menekankan pada pentingnya seksualitas dan alam sadar dalam tingkah laku manusia. Sebelum dibuatnya teori ini, seksualitas (khususnya seksualitas pada masa kanak-kanak) disangkal dan kekuatan alam tidak sadar kurang mendapat perhatian.
•    Pendekatan ini memberikan sumbangan pada penelitian-penelitian empiris, bersifat heuristic. Proposal freud telah menghasilkan begitu banyak penelitian.
•    Pendekatan ini menyediakan dasar teoritis yang mendukung sejumlah instrument diagnostik. Beberapa tes psikologi, seperti tes apresiasi tematik atau noda tinta Rorschach, berakar pada teori psikoanalisis. 
•    Psikoanalisis terus berevolusi dan akhir-akhir ini menekankan pada proses adaptif dan hubungan sosial.
•    Pendekatan ini tampaknya efektif bagi mereka yang menderita berbagai macam gangguan, termasuk hysteria, narsisme, reaksi obesif-kompulsif, gangguan karakter, ansietas, fobia, dan gangguan seksualitas.
•    Pendekatan ini menekankan pentingnya tahap perkembangan pertumbuhan.
-    Keterbatasan :
•    Pendekatan ini menghabiskan waktu dan biaya yang banyak. Seseorang yang menjalani psikoanalisis biasanya datang tiga sampai lima kali seminggu, dalam kurun waktu bertahun-tahun.
•    Pendekatan ini tidak terlalu berguna bagi klien lansia atau bahkan sekelompok klien yang bervariasi. “pasien yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari analisis ini” terutama adalah “pria paruh baya dan wanita yang tertekan karena merasa hidupnya sia-sia serta mencari arti didalam kehidupan”
•    Di luar harapan freud, pendekatan ini telah di klaim secara eksklusif oleh para psikiater. Konselor dan psikolog yang tidak mempunyai pendidikan medis mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelatihan ekstensif dibidang psikoanalisis.
•    Pendekatan ini berdasarkan pada banyak konsep yang tidak mudah dipahami atau dikomunkasikan ; id, ego, dan superego contohnya. Terminology psikoanalitikal tampaknya terlalu rumit.
•    Pendekatan ini menuntut ketekunan. Contohnya, freud mengaitkan batasan tertentu pada wanita dengan hasil dari gender yaitu menjadi perempuan.
•    Pendekatan ini tidak begitu cocok dengan kebutuhan kebanyakan individu yang mencari konseling profesional. Model psikoanalitik dikaitkan dengan orang yang mempunyai masalah penyesuaian diri atau yang ingin atau yang butuh mengeksplorasi alam bawah sadarnya.

E.    Konseling Adlerian
-    Penemu/ pengembang : Alfred Adler adalah penemu pendekatan adlerian pada konseling, juga dikenal sebagai psikologi individual (untuk menekankan sifat holistic dan keutuhan manusia). Dia adalah rekan sezaman Sigmund Freud. Namun Adler berbeda dengan Freud perihal pentingnya dorongan biologi sebagai kekuatan motivator utama dalam kehidupan dan menekankan pentingnya perasaan subjektif serta kepedulian sosial. 
-    Sudut pandang tentang sifat manusia : gagasan utama pada teori Adler dalam hubungannya dengan manusia adalah bahwa manusia secara primer dimotivasi oleh kepedulian sosial, yaitu perasaan mempunyai kaitan dengan masyarakat sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan, suatu kepedualian aktif dan empati kepada sesame, selain kebutuhan dan kemauan untuk berkontribusi pada kepentingan umum masyarakat. Orang yang mempunyai kepedulian sosial bertanggung jawab atas diri sendiri dan orang lain serta kooperatif dan positif dalam hubungannya dengna kesehatan mental. Teori adler menyatakan bahwa aspek sadar dari tingkah laku, bukan yang tidak sadar, merupakan pusat dari perkembangan kepribadian. Prinsip utama dari teori adlerian adalah bahwa manusia berjuang untuk kesuksesan, suatu proses yang dia sebut perjuangan untuk kesempurnaan atau totalitas. Adler percaya bahwa manusia dipengaruhi oleh tujuan masa depan selain dari akibat masalalu. Teorinya juga memberi banyak penekanan pada urutan kelahiran, misal anak pertama, kedua, anak tengah, anak termuda dan anak satu-satunya. Suasana keluarga juga sangat berpengaruh, seperti suasana keluarga yang negative dapat berupa terlalu otoriter, penolakan, supresif, materialistis, terlalu protektif, atau mengasihani, sementara suasana keluarga yang positif dapat berupa demokratis, penerimaan, terbuka, dan sosial, itu semua lebih penting bagi perkembangan gaya hidup manusia. Secara keseluruhan, penganut adler percaya ada tiga tugas utama kehidupan yakni ; masyarakat, pekerjaan, dan seksualitas. Teori tersebut menyatakan bahwa pekerjaan merupakan hal yang esensial bagi keberlangsungan hidup manusia dan bahwa kita harus belajar mandiri. Kemudian orang juga perlu menentukan seksualitasnya sendiri dalam hubungannya terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain dalam semangat bekerjasama bukannya berkompetisi.
-    Peranan konselor : konselor adlerian terutama berfungsi sebagai diagnostic, guru dan model dalam hubungan kesetaraan yang mereka bangun dengan klien. Mereka mencoba menilai mengapa klien berorientasi kecara berfikir dan bertindak tertentu. Konselor membuat penilaian dengan mengumpulkan informasi dalam konstelasi keluarga dan dari kenangan awal klien. Kemudian konselor membagi impresi, opini, dan perasaannya bersama kien dan berkonsentrasi untuk meningkatkan hubungan terapi. Klien didorong untuk memeriksa dan mengubah gaya hidup yang salah dengan mengembangkan kepedulian sosialnya.
-    Tujuan : tujuan dari konseling Adlerian adalah membantu orang untuk mengembangkan  gaya hidup  holistic dan sehat. Ini artinyamendidik atau mendidik ulang klien mengenai gaya hidup semacam itu dan membantunya mengatasi masalah inferioritas. Salah satu tujuan utama konseling adlerian adalah membantu klien mengatasi gaya hidup yang salah, yaitu gaya hidup yang egois dan berdasarkan tujuan yang salah serta asumsi yang tidak benar berkaitan dengan perasaan inferioritas.
-    Teknik : membangun hubungan konseling sangatlah penting untuk mencapai tujuan konseling Adlerian. Konselor adlerian mencoba membangun hubungan yang hangat, suportif, bersahabat, empati, dan setara dengan kliennya. Konselor mendengarkan secara aktif dan menganggapi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan konselor yang berpusat pada manusia. Setelah hubunngan terbangun, konselor berkonsentrasi pada anaisis gaya hidup klien. Termasuk memeriksa pada konstelasi keluarga dan suasana dimana anak-anak tumbuh mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap prsepsi diri sendiri dan orang lain. Seringkali klien bisa mendapatkan pencerahan dengan mengenang kembali kenangannya, khususnya peristiwa sebelum usia 10 tahun. Adler menyebutkan bahwa orang mengingat kenangan masa kanak-kanak yang konsisten dengan sudut pandangnya masa kini terhadap diri sendiri, orang lain, dan dunia secara umum. Usaha konselor berikutnya adalah membantu klien untuk mengembangkan pencerahan,khususnya dengan mengajukan pertanyaan terbuka dan membuat interpretasi. Kemampuan empati sangat penting pada proses ini, karena konselor harus merasakan bagaimana menjadi klien sebelum memberikan penilaian buruk terhadap alasan prilaku klien saat ini. Teknik spesifikasinya yaitu: konfrontasi, mengajukan pertanyaan, dorongan, bertindak (seandainya), meludah di sup klien, menangkap diri sendiri, penetapan tugas, dan tekan tombol.
-    Kekuatan dan kontribusi :
•    Pendekatan ini membina atmosfir kesetaraan melalui teknik positif yang digunakan konselor. Ikatan dan komitmen ditingkatkan melalui proses ini dan peluang untuk berubah meningkat. Dorongan dan dukungan konselor merupakan komoditas yang berharga. Konselor adlerian mendekati klien dengan orientasi pandidikan dan pandangan yang optimistis terhadap kehidupan.
•    Pendekatan ini fleksibel untuk semua usia. “ahli teori adlerian telah mengembangakn model konseling untuk anak-anak, dewasa, lansia, seluruh keluarga, kelompok guru dan segmen masyarakat lainnya”. Terapi bermain unutk anak-anak usia 4-9 tahun kelihatannya sangat efektif.
•    Pendekatan ini berguna untuk perawatan berbagia kelainan, termasuk kelainan perilaku, perilaku antisocial, ansietas masa kanak-kanak dan remaja, beberapa kelainan afektif, dan kelainan kepribadian.
•    Pendekatan ini memberi kontribusi pada teori-teori pembantu lainnya dan pada pengetahuan serta pemahaman umum akan interaksi manusia. Banyak gagasan adler yang sudah diintegrasikan kedalam pendekatan konseling.
•    Pendekatan ini dapat digunakan secara selektif diberbagai konteks budaya. Contohnya konsep “dorongan” tepat ditekankan jika bekerja dengan kelompok yang sejak dulu menekankan kolaborasi seperti Hispanik dan Asia Amerika, sementara konsep “kompetisi antarsaudara” dapat ditekankan pada klien-klien Eropa Amerika Utara yang mementingkan kompetisi.
-    Keterbatasan :
•    pendekatan ini kurang memiliki dasar penelitian yang suportif dan tegas. Hanya sedikit penelitian empiris yang dilakukan.
•    Pendekatan ini masih kabur dalam hubungannya dengan beberapa konsep dan istilah.
•    Pendekatan ini terlalu optimistis perihal sifat manusia, khususnya kerjasama dan kepedulian sosial. Pendekatan ini dianggap mengabaikan dimensi kehidupan yang lain, seperti kekuatan dan alam tidak sadar.
•    Prinsip dasar pendekatan ini, seperti struktur keluarga yang demokratis misalnya, tidak terlalu cocok untuk klien yang konteks budayanya menekankan pada hubungan sosial linier, seperti bangsa Arab Amerika.
•    Pendekatan ini yang sangat bergantung pada pengetahuan verbal, logika dan pencerahan, penerapannya terbatas untuk klien yang kurang cerdas.

F.    Teori Humanistik
-    Penemu/ pengembang : Carl Rogers adalah orang yang paling dekat dengan konseling berpusat pada orang. Bahkan Rogers lah yang pertama kali memformulasikan teori tersebut dalam bentuk psikoterapi tak langsung didalam bukunya, Counseling and Psichotherapy pada tahun 1942.
-    Sudut pandang tentang sifat manusia : manusia pada dasarnya baik. manusia secara karakteristik “positif, bergerak maju, konstruktif, realistic, dan dapat diandalkan”. Setiap orang sadar, terarah, dan maju kearah aktualisasi diri sejak masa kanak-kanak. Menurut Rogers, aktualisasi diri merupakan pengerak yang paling umum dan memotivasi keberadaan, serta mencakup tindakan yang mempengaruhi orang tersebut secara keseluruhan. “makhluk hidup mempunyai satu dasar kecenderungan dan perjuangan, yaitu aktualisasi diri, mempertahankan dan meningkatkan si makhluk yang merasakannya tersebut” (Rogers, 1951,p.487). Rogers memandang individu dari perspektif fenomenologikal: yang penting adalah persepsi manusia mengenai realita dibanding peristiwa yang terjadi itu sendiri. Cara memandang manusia ini mirip seperti teori Adler. Tetapi pada Rogers konsep tersebut adalah inti dari teorinya sehingga gagasannya sering disebut teori diri. Diri adalah hasil dari pengalaman yang dialami seseorang, dan suatu kesadaran akan diri dapat membantu orang membedakan dirinya dari orang lain. Agar muncul diri yang sehat, seseorang membutuhkan perhatian positif-cinta, kehangatan, kasih sayang, respek, dan penerimaan. Akan tetapi dimasa kanak-kanak, dan dimasa kehidupan berikutnya, seseorang seringkali menerima perhatian berpamrih dari orang tua atau orang lain.
-    Peranan konselor : konselor membuat dan meningkatkan atmosfer dimana klien bebas dan didorong untuk mengeksplorasi semua aspek mengenai dirinya. Atmosfer ini difokuskan pada hubungan konselor-klien, yang digambarkan Rogers sebagai kualitas pribadi dengan “saya-anda” yang special. Klien adalah orang yang diberi hak untuk mengarahkan terapinya sendiri. Jadi konselormenaruh kepercayaan pada kliennya untuk mengembangakn agenda tentang apa yang ingin dia kerjakan. Tugas konselor adalah lebih sebagai fasilitator dari pada pengarah.
-    Tujuan : tujuan dalam konseling berpusat pada orang berkisar pada klien sebagai manusia, bukan permasalahan yang dihadapinya. Roger menekankan bahwa orang perlu bantuan untuk belajar bagaimana menghadapi berbagai situasi. Salah satu cara utama untuk mencapai hal ini adalah dengan membantu klien menjadi orang yang berfungsi penuh, yang tidak perlu menerapkan mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi pengalaman sehari-hari. Orang yang berfungsi penuh mengembangkan penerimaan yang lebih besar akan dirinya dan orang lain serta menjadi pembuat keputusan yang lebih baik dimasa kini dan mendatang. Yang paling utama, klien dibantu mengidentifikasi, menggunakan, dan mengintegrasikan sumber daya dan potensinya sendiri.
-    Teknik : bagi terapis yang menggunakan pendekatan berpusat pada orang, kualitas hubungan konseling jauh lebih penting dari pada teknik yang digunakan. Rogers percaya bahwa ada tiga kondisi yang penting dan perlu pada konseling ini: (1) empati, (2) perhatian positif tanpa pamrih (penerimaan, penghargaan), dan (3) kecocokan (ketulusan, keterbukaan, autentik, transparansi).
-    Kekuatan dan kontribusi :
•    pendekatan ini merevolusi profesi konseling dengan cara menghubungkan konseling dengan psikoterapi dan memperjelasnya melalui pembuatan rekaman suara dari sesi actual dan menerbitkan salinan actual mengenai sesi konseling.
•    Pendekatan berpusat pada orang dalam konseling dapat diterapkan untuk berbagai macam permasalahan manusia, termasuk perubahan intitusional, hubungan manajemen-pekerja, perkembangan kepemimpinan, membuat keputusan tentang karir, dan diplomasi internasional.
•    Pendekatan ini efektif dalam sejumlah keadaan. Konseling berpusat pada orang membantu memperbaiki penyesuaian psikologis, pembelajaran, toleransi frustasi, dan mengurangi sikap defentif. Pendekatan ini tepat untuk mengobati ansietas ringan dampai menengah, gangguan penyesuaian, dan kondisi yang tidak berhubungan dengan kelainan mental, seperti kesedihan yang tidak rumit atau hubungan antar pribadi.
•    Pendekatan ini berfokus pada keterbukaan dan hubungan penerimaan yang dibangun konselor dan klien serta proses bantuan yang bersifat jangka pendek.
•    Dasar pendekatan ini hanya membutuhkan waktu yang cukup singkat untuk dipelajari. Dengan penekanannya pada penguasaan keahlian mendengarkan, konseling berpusat pada orang merupakan fondasi dasar untuk melatih para calon pembantu profesional. Lebih jauh lagi, merupakan dasar untuk beberapa pendekatan perawatan yang baru dan seringkali dikombinasikan dengan orientasi teoretis lainnya dalam konseling seperti kognitif dan tingkah laku.
•    Pendekatan ini mempunyai pandangan positif perihal sifat manusia dan terus berevolusi.
-    Keterbatasan :
•    Pendekatan ini terlalu sederhana, optimistis, santai, dan tidak terfokus untuk klien yang dalam krisis atau klien yang membutuhkan  struktur atau arah yang lebih jelas.
•    Pendekatan ini terlalu bergantung pada klien yang suka bekerja keras, cerdas, dan berwawasan luas untuk mendapatkan hasil terbaik. Pendekatan ini memilikipenerapan yang terbatas, dan jarang digunakan untuk anak-anak atau penderita cacat berat.
•    Pendekatan ini mengabaikan diagnosis, ketidaksadaran, teori-teori perkembangan dan dorongan agresif serta seksual yang alami. Banyak kritik yang mengatakan bahwa pendekatan ini terlalu optimistis.
•    Pendekatan ini hanya menangani permasalahan yang ada dipermukaan, dan tidak menantang klien untuk mengeksplorasi area-area yang lebih dalam. Karena konseling berpusat pada orang hanya untuk jangka pendek, tidak mempunyai dampak yang permanen pada orang tersebut.

G.    Teori Tingkah Laku
-    Penemu/ pengembang : B.f (Burrhus Frederik) Skiner (1904-1990) adalah orang yang mempopulerkan metode perawatan tingkah laku. Analisis terapan tingkah laku terapan adalah “perpanjangan langsung dari tingkah laku radikal Skiner (1953)”yang didasarkan pada pengkondisian operan.
-    Sudut pandang tentang sifat manusia :
•    Berkonsentrasi pada proses tingkah laku yaitu proses yang berhubungan erat dengan tingkah laku yang berlebihan (kecuali untuk penganut tingkah laku kognitif)
•    Berfokus pada tingkah laku sekarang dan kini, berlawanan dengan tingkah laku nanti dan berikutnya.
•    Mengasumsi bahwa semua tingkah laku dipelajari, baik itu adaptif maupun mal-adaptif.
•    Memiliki keyakinan bahwa belajar efektif dalam mengubah tingkah laku mal-adaptif.
•    Berfokus pada penerapan tujuan terapi yang tepat bersama klien.
•    Menolak gagasan bahwa kepribadian manusia adalah gabungan watak.
-    Peranan konselor : umumnya konselor yang memakai tekhnik tingkah laku, aktif didalam sesi konseling. Sebagai hasilnya, klien belajar, tidak belajar, atau mempelajari ulang cara berprilaku yang spesifik. Dalam prose situ, konselor berperan sebagai konsultan, guru, penasehat, fasilitator dan pendukung. Dia bahkan memberikan instruksi atau pengawasan pada tenaga pendukung dilingkungan klien, yang membantu proses perubahan.
-    Tujuan : tujuannya pun sama dengan kebanyakan konselor lainnya. Pada dasarnya, konselor ingin membantu klien untuk menyesuaikan diri dengan baik terhadap kondisi kehidupannya, dan mencapai tujuan pribadi dan profesionalnya. Jadi fokusnya adalah mengubah atau menghapuskan tingkah laku mal-adaptif yang ditunjukkan klien, sambil membantunya mendapatkan cara bertindak yang sehat dan konstruktif.
-    Teknik : tehnikyang digunakan antara lain yaitu penggunaan penguat, jadwal penguatan, pembentukan, generalisasi, pemeliharaan, pemusnahan, hukuman, teknik tingkah laku spesifik, latihan tingkah laku, perencanaan lingkungan, desensitisasi sistemik, latihan asertif, kontrak kemungkinan, implosive dan flooding, time-out, overkoreksi, dan sensitisasi tertutup.
-    Kekuatan dan kontribusi :
•    Pendekatan ini berfokus pada masa kini dan sekarang. Klien tidak harus memeriksa masalalu untuk mendapatkan bantuan dimasa kini. Pendekatan tingkah laku menghemat waktu dan biaya.
•    Pendekatan ini menawarkan banyak teknik untuk digunakan oleh konselor.
•    Pendekatan ini berdasarkan pada teori pembelajaran, yang merupakan cara pendokumentasian yang dirumuskan dengan baik, untuk mencatat bagaimana tingkah laku baru diperoleh.
•    Pendekatan ini diperkuat oleh ABCT (Association for Behavioral and Cognitive Therapies), yang meningkatkan  praktek metode konseling tingkah laku.
•    Pendekatan ini didukung oleh penelitian yang sangat baik, mengenai bagaimana teknik tingkah laku dapat memengaruhi proses konseling.
•    Pendekatan ini objektif dalam mendefinisikan dan menghadapi permasalahan serta mempermudah pemahaman akan proses konseling.
-    Keterbatasan :
•    Pendekatan ini tidak menangani klien secara keseluruhan, hanya prilaku eksplisit saja. banyak kritik yang menyebutkan  bahwa penganut pendekatan ini menghadapi klien diluar kepribadiannya.
•    Pendekatan ini terkadang diterapkan secara mekanik.
•    Pendekatan ini tampak paling baik pada kondisi terkontrol yang mungkin sulit diulangi pada situasi konseling normal.
•    Pendekatan ini mengabaikan masa lalu klien dan kekuatan tidak sadar.
•    Pendekatan ini tidak mempertimbangkan tahapan-tahapan perkembangan.
•    Pendekatan ini memprogram klien kea rah tingkat berprilaku minimal atau dapat ditoleransi. Memperkuat konformitas, menghambat kreativitas, dan mengabaikan kebutuhan klien akan kepuasan pribadi, aktualisasi diri dan percaya diri.

H.    Teori Kognitif
-    Penemu/ pengembang : penemu REBT adalah Albert Ellis (1913-2007).
-    Sudut pandang tentang sifat manusia : Ellis percaya bahwa manusia mempunyai kepedulian diri dan kepedulian sosial.  Ia menganggap manusia “rasional dan irasional, masuk akal sekaligus gila”. Pikiran irasional melibatkan pembentukan pikiran yang mengganggu dan menjengkelkan. Anak-anak lebih gampang terkena pengaruh dari luar dan memiliki cara berpikir yang tidak rasional daripada orang dewasa. Pada dasarnya dia menyakini bahwa manusia itu naïf, mudah disugesti, dan mudah terusik. Manusia memiliki kemampuannya sendiri untuk mengontrol pikiran, perasaan dan tindakan, tetapi pertama-tama dia harus menyadari apa yang mereka katakana kepada dirisendiri (bicara pada diri sendiri) untuk mendapatkan komando atau kehidupannya. Ini adalah masalah kesadaran pribadi. Ellis mengatakan bahwa suatu kesalahan jika manusia berfikir bahwa manusia adalah makhluk yang biasa berbuat salah.
-    Peranan konselor : konselor harus aktif dan langsung. Mereka adalah instruktur yang mengajarkan dan membetulkan kognisi kliennya. “melawan keyakinan yang tertanam kuat membutuhkan lebih dari sekedar logika. Dibutuhkan repetisi yang kuat” (Krumbolz, 1992). Oleh karena itu konselor harus menyimak dengan cermat untuk menemukan pernyataan tidak logis atau salah dari kliennya dan keyakinan yang bertentangan. Konselor harus cerdas, berwawasan, empatik, respek, tulus, konkret, bertekad kuat, ilmiah, berminat membantu orang lain.
-    Tujuan : tujuan utamanya yaitu membantu orang untuk menyadari bahwa mereka dapat hidup lebih rasional dan produktif serta membantu klien agar tidak memberikan tanggapan emosional melebihi yang selayaknya terhadap suatu peristiwa. Tujuan lainnya juga adalah mengubah kebiasaan berpikir atau bertingkah laku yang menghancurkan diri sendiri.
-    Teknik : dua teknik yang paling penting adalah pengajaran dan pertentangan. Pengajaran melibatkan tindakan meminta klien mempelajari gagasan dasar dan memahami bagaimana pikiran terhubung dengan emosi dan tingkah laku, tindakan ini bersifat mengarahkan. Sedangkan pertentangan pikiran dan keyakinan mengambil salah satu dari tiga bentuk; kognitif, imajinal, dan tingkah laku. Dua teknik yang sama kuatnya adalah konfrontasi dan dorongan.
-    Kekuatan dan kontribusi :
•    Pendekatan jelas mudah dipelajari dan efektif. Kebanyakan klien hanya mengalami sedikit kesulitan dalam memahami prinsip ataupun terminology REBT.
•    Pendekatan ini dapat dengan mudahnya dikombinasikan dengan teknik tingkah laku lainnya untuk membantu klien mengalami apa yang mereka pelajari lebih jauh lagi.
•    Pendekatan ini relative singkat dank lien dapat melanjutkan menggunaan pendekatan ini secara swa-bantu.
•    Pendekatan ini telah banyak menghasilkan banyak literature dan penelitian untuk klien dan konselor. Hanya sedikit teori lain yang dapat mengembangkan materi ini.
•    Pendekatan ini berevolusi terus menerus selama bertahun-tahun dan teknik-tekniknya lebih diperbaiki.
•    Pendekatan ini telah dibuktikan efektif dalam merawat gangguan kesehatan mental yang parah seperti depresi dan ansietas.
-    Keterbatasan :
•    Pendekatan ini tidak bisa digunakan secara efektif pada individu yang mempunyai gangguan atau keterbatasan mental, dan mereka yang mempunyai kelainan pemikiran yang berat.
•    Pendekatan ini terlalu diasosiasikan dengan penemuannya, Albert Ellis. Banyak individu yang mengalami kesulitan dalam memisahkan teori dari ke-eksentrikan Ellis.
•    Pendekatan ini langsung dan berpotensi membuat konselor terlalu fanatic dan ada kemungkinan tidak merawat klien seideal yang semestinya.
•    Pendekatan yang menekankan pada perubahan pikiran bukanlah cara yang paling sederhana dalam membantu klien mengubah emosinya.

I.    Teori Sistem
-    Penemu/ pengembang : salah satu pendekatan system terawal untuk bekerj bersama klien, khususnya anggota keluarga yang diciptakan oleh Murray Bowen.
-    Sudut pandang tentang sifat manusia : bowen percaya bahwa ada ansietas kronis didalam semua kehidupan yang bersifat fisik dan emosional. Karena cara generasi sebelumnya dalam keluarga mereka mentransmisikannya. Jika ansietisnya rendah, masalah yang muncul pada diri orang tersebut atau keluarganya, sedikit. Jika nasietisnya menjadi tinggi, orang ini lebih rentan terhadap penyakit dan menjadi disfungsional secara menahun . jadi fokus teori Bowen terletak pada perbedaan atau membedakan pikiran seseorang dari emosi seseorang dan diri sendiri dari orang lain.  Contohnya, pasangan suami istri yang menikah pada tingkat kematangan emosional yang sama dibanding dengan pasangan yang kurang matang yang lebih rentan mengalami permasalahan dalam hubungan pernikahan mereka dibandingkan pasangan yang matang. Sebab ketika bergesekan dengan perbedaan, pasangan yang kurang  matang cenderung memperlihatkan tingkat emosi yang tinggi, sebab kestabilan pengaruh keluarga besarnya masih cenderung terbawa sehingga belum terbentuk konsep diri pernikahan yang stabil.
-    Peranan konselor : yaitu untuk melatih dan mengajar klien agar lebih kognitif saat berhadapan dengan orang lain. Proses konseling dalam kondisi terbaik ibaratnya adalah “dialog Socrates, dengan guru atau pelatih mengajukan pertanyaan-pertanyaan sampai siswa belajar untuk berfikir bagi dirinya sendiri”
-    Tujuan : jika konseling berjalan dengan sukses, klien akan memahami dan mengubah strategi dan polanya dalam menghadapi stress yang diwariskan dari generasi ke generasi.
-    Teknik : taknik pendekatan ini berfokus pada cara untuk menciptakan seorang individu dengan konsep diri yang sehat, yang mampu berinteraksi dengan orang lain dan tidak mengalami ansietas berlebih, setiap kali hubungannya mengalami tekanan. Cara untuk mencapai tujuan ini melibatkan penilaian atas diri sendiri dan keluarga dengan sejumlah cara. Salah satunya melalui konstruksi genogram multigenerasi, yang merupakan representasi visual dari pohon silsilah keluarga yang digambarkan dalam figure geometric, garis-garis dan kata-kata. Taknik lainnya difokuskan pada kognitif, seperti mengajukan pertanyaan berdasarkan kepuasan keluarga seseorang. Tujuannya adalah untuk memahami apa yang terjadi didalam keluarga seseorang tanpa didominasi emosi.
-    Kekuatan dan kontribusi :
•    Pendekatan ini berfokus pada riwayat keluarga multigenerasi dan pentingnya memahami dan menghadapi pola-pola dimasa lalu, agar dapat menghindari pengulangan tingkah laku tertentu dalam hubungan antarpribadi.
•    Pendekatan ini menggunakan genogram dalam memplot hubungan riwayat, yang merupakan alat spesifik yang asalnya dari pendekatan Bowen. Sekarang alat ini telah menjadi instrument yang digunakan oleh banyak pendekatan lain.
•    Penekanan kognitif pada pendekatan ini dan fokusnya pada pembedaan diri dan detriangulasi, juga merupkan hal yang unik.
-    Keterbatasan :
•    Pendekatan ini kompleks dan ekstensif. Teorinya tidak dapat dipisahkan dari terapi, dan jalinan tersebut membuat pendekatan ini lebih mempunyai keterlibatan daripada kebanyakan pendekatan terapi lainnya.
•    Klien yang dapat memetik keuntungan paling banyak dari teori Bowen adalah yang mempunyai disfungsi berat atau pembedaan diri yang rendah.
•    Pendekatan ini membutuhkan investasi cukup besar pada berbagai tingkatan, yang mungkin sebagian klien tidak mau atau tidak bisa melakukannya.


J.    Konseling Strategis (Singkat)
-    Penemu/ pengembang : konseling berfokus  solusi umumnya dikenal sebagai terapi singkat berfokus solusi (SFBT), adalah suatu fenomena amerika utara, yang diciptakan tahun 1980-an oleh Steve deSharzer dan Bill O`Hanlon. Keduanya dipengaruhi oleh Milton Erikson, pencipta terapi singkat ditahun 1940-an.
-    Sudut pandang tentang sifat manusia : ia memiliki pandangan komprehensif terhadap sifat manusia, terapi ini berfokus pada kekuatan dan kesehatan klien. Erickson menyatakan bahwa manusia mempunyai sumber daya dan kemampuan yang ada didalam dirinya untuk memecahkan masalahnya sendiri, meskipun mereka tidak memiliki pemahaman mendasar mengenai diri mereka.
-    Peranan konselor : peran utama konselor berfokus solusi adalah menentukan seberapa besar komitmen dan keaktifan untuk menjalani proses perubahan. Klien biasanya digolongkan dalam tiga kategori.
•    Pengunjung, yang tidak terlibat dalam permasalahan dan bukan bagian dari solusi,
•    Tukang komplain, seseorang yang senang mengeluh mengenai suatu situasi tetapi dapat menjadi pengamat dan penjelas masalah, meski mereka tidak membantu dalam memecahkan masalah tersebut,
•    Pelanggan, yang tidak hanya mampu menggambarkan masalah dan bagaiman mereka terlibat didalamnya, tetapi berkemauan untuk bekerja menemukan solusi.
Sebagai penentu komitmen, konselor berfokus solusi bertindak sebagai fasilitator perubahan untuk membantu klien “mengakses sumber daya dan kekuatan yang telah dia miliki, tetapi tidak disadari atau tidak digunakan”. Pada dasarnya konselor membiarkan klien menjadi ahli menghadapi kehidupannya.
-    Tujuan : tujuan utama ini adalah membantu klien mengenal sumber daya dalam dirinya dan menyadari pengecualian di dalam dirinya pada saat dia bermasalah. Kemudian mengarahkan klien pada solusi terhadap situasi yang telah ada dalam pengecualian tersebut.
-    Teknik : pertanyaan keajaiban, mengukur, pujian, petunjuk dan kunci tengkorak.
-    Kekuatan dan kontribusi :
•    Pendekatan ini menekankan pada singkatan waktu konseling dan pemberdayaan keluarga klien
•    Pendekatan ini fleksibel dan mempunyai banyak riset yang membuktikan ke efektifannya.
•    Pendekatan ini positif sifatnya untuk digunakan dengan klien yang berbeda-beda.
•    Pendekatan ini difokuskan pada perubahan dan dasar pemikran yang menekankan perubahan kecil pada tingkah laku.
•    Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan pendekatan konseling lainnya, seperti eksistensialisme misalnya
-    Keterbatasan :
•    Pendekatan ini hampir tidak memperhatikan riwayat klien
•    Pendekatan ini kurang memfokuskan pencerahan
•    Pendekatan ini menggunakan tim, setidaknya beberapa praktisi, sehingga membuat perawatan ini mahal.

K.    Konseling Krisis
-    Penemu/ pengembang : Erich Lindemann dan Gerald Caplan dipandang sebagai dua pionir yang paling dikenal dalam bidang konseling krisis. Lindemann membantu tenaga profesional untuk mengenali kesedihan normal akibat kehilangan dan tahap-tahap yang dilalui seseorang dalam memecahkan kesedihan tersebut.
-    Sudut pandang tentang sifat manusia : iya berpendapat bahwa manusia sehat tumbuh dan melanjutkan kehidupannya, meninggalkan sesuatu dibelakang baik secara sengaja, tidak sengaja, atau karena pertumuhan. Saat meninggalkan sesuatu mungkin ada rasa sedih, suatu reaksi alami terhadap kehilangan. Manusia dapat mengalami berbagaimacam krisis, empat tipe yang paling umum adalah 1. Perkembangan, 2.situasional, 3. Eksistensial, 4.ekosistemik.
-    Tujuan: tujuan dari konseling krisis berkisar pada memberikan bantuan segera dan dalam berbagai bentuk kepada orang yang membutuhkan (misal; psikologis, keuangan, hukum).
-    Peranan konselor: konselor yang bekerja pada kondisi krisis harus merupakan individu yang matang kepribadiannya, serta mempunyai banyak pengalaman kehidupan yang telah dia hadapi dengan sukses. Dia juga harus mempunyai keahlian dasar untuk member bantuan, berenergi tinggi, mempunyai refleks mental yang cepat, tetapi juga seimbang, kalem, dan fleksibel dalam menghadapi situasi yang sulit. Konselor seringkali terarah dan aktif dalam situasi krisis. Perannya cukup berbeda dari konseling biasa.
-    Teknik :
Setelah penilaian, ada tiga aktivitas mendengarkan yang esensial, yang harus diterapkan:
1.    Mendefinisikan masalah, khususnya dari sudut pandang klien
2.    Memastikan keselamatan klien, yang artinya meminimalkan bahaya psikologis dan fisik pada klien atau orang lain
3.    Menyediakan dukungan, artinya berkomunikasi dengan klien secara tulus, dan peduli tanpa pamrih
Setelah, dan kadang-kadang selama, pertengahan mendengarkan tersebut digunakan strategi bertindak yang melibatkan:
1.    Memeriksa alternative lain (misalnya, mengenali alternative yang dapat digunakan dan menyadari adanya beberapa pilihan yang lebih baik)
2.    Membuat rencana, membuat klien merasa mempunyai kendali dan otonomi didalam proses yang sedang berjalan, sehingga mereka menjadi mandiri
3.    Mendapatkan komitmen dari klien untuk mengambil tindakan yang telah direncanakan.
Jika memungkinkan, konselor harus menindak lanjuti dengan klien untuk memastikan mereka dapat menyelesaikan rencana tersebut dan menilai lebih lanjut apakah mereka mengalami reaksi tertunda atas krisis yang mereka alami, seperti stress pascatrauma. Pendekatan ini berevolusi melalui menekanan pada perkenalan, fakta, pikiran, reaksi, simtom, pengajaran, dan pemasukan kembali.
-    Kekuatan dan kontribusi :
•    Pendekatan ini memberikan keuntungan karena singkat dan langsung
•    Pendekatan ini menggunakan tujuan dan maksud yang sederhana karena sifat krisis yang tiba-tiba dan atau traumatis.
•    Pendekatan ini bergantung pada intensitas, yang lebih besar dari pada bentuk konseling biasa
•    Pendekatan ini sifatnya lebih transisional.
-    Keterbatasan :
•    Pendekatan ini berhadapan dengan situasi yang harus ditangani dengan cepat
•    Pendekatan ini tidak member resolusi sedalam seperti yang dilakukan pendekatan konseling lainnya
•    Pendekatan ini lebih terbatas waktu dan berorientasi pada trauma disbanding kebanyakan bentuk intervensi terapi lainnya.

Daftar Pustaka

empati

A.    Empati
Empati dalam konseling merupakan hal yang sangat penting. Mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi. Salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman interaksi komunikasi sehingga konseli frustasi dan tidak ada manfaat yang dihasilkan dari proses konseling tersebut. Empati merupakan dasar hubungan interpersonal. Hal yang juga penting diungkap dalam konteks peningkatan mutu empati seseorang adalah berlatih menampakkan ekspresi-ekspresi atau isyarat-isyarat non-verbal yang membuat orang lain merasa dimengerti dan diterima, karena kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat non verbal orang lain. Pemahaman seperti ini membuat hubungan antar individu terjalin dengan baik. Dalam kepustakaan konseling ditegaskan tentang keefektifan konseling (counseling effectiveness) lebih ditentukan dari kecakapan konselor. Oleh karena itu, peran empati cukup esensial yang diakui dalam teori-teori konseling, sehingga empati yang diwujud-nyatakan dalam praktik konseling selama ini merupakan suatu keniscayaan untuk ditumbuh-kembangkan secara sistemis di dunia pendidikan dan kehidupan masyarakat kita.

B.    Beberapa pengertian empati
1.    Empati suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi di antara kepribadian-kepribadian. “ Empati ” merupakan arti dari kata “einfulung” yang dipakai oleh para psikolog Jerman. Secara harfiah ia berarti “merasakan ke dalam”. Empati berasal dari kata Yunani “pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan, dan kemudian diberi awalan “in”. Kata ini paralel dengan kata “ simpati “. Tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Bila simpati berarti merasakan bersama dan mungkin mengarah pada sentimentalitas, maka empati mengacu pada keadaan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang, sedemikian sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan/ kehilangan identitas dirinya sendiri. Dalam proses empati yang mendalam dan misterius inilah berlangsung proses pengertian, pengaruh dan bentuk hubungan antar pribadi yang penting lainnya
2.    George & Cristiani (1981), empati adalah kemampuan untuk mengambil kerangka berpikir klien sehingga memahami dengan tepat kehidupan dunia dalam dan makna-maknanya dan bisa dikomunikasikan kembali dengan jelas terhadap klien. Dengan berempati, memungkinkan konselor untuk mendengar dan bereaksi terhadap kehidupan perasaan klien, yakni : marah, benci, takut, menentang, tertekan, dan gembira.
3.    Stewart (1986) merumuskan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain supaya bisa memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaannya. Empati menuntut untuk masuk ke pandangan dunia klien dan untuk melihat dengan mata mereka dan selanjutnya “to walk in their shoe”.
4.    Rogers, empati berarti memasukkan dunia klien beserta perasaan-perasaannya ke dalam diri sendiri tanpa terhanyut oleh pikiran dan perasaan klien (Hackney, 1978).
5.    Menurut Sutardi (2007), pengertian empati dapat dianggap kelanjutan dari toleransi. Empati dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain oleh seorang individu atau suatu kelompok masyarakat.

Dari definisi empati diatas dapat disimpulkan. Empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.  Empati berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup self-awareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi kita sendiri, makin terampil kita dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak banyak diekspresikan dalam kata-kata, justru ia lebih banyak diekspresikan dalam isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan bagian tubuh, ekspresi wajah. Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemaha`man terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang lain.
Empati sangat dibutuhkan dalam relasi terapeutik. Bahkan dalam terapi client centered, iklim terapi, yang diwarnai empati menjadi syarat utama yang akan memberi efek mendukung bagi tumbuhnya konsep diri positif pada klien atau konseli, sehingga konseli dapat mengatasi persoalannya sendiri. Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa mengingat pentingnya kemampuan empati dalam hubungan antar manusia, maka upaya melatih dan mengembangkan empati di keluarga-keluarga, sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya perlu dilakukan sedini mungkin.

C.    Perbedaan Simpati dengan Empati
Simpati    Empati
1.    Berasal dari bahasa yunani “ feeling with”
2.    Proses yang terjadi kurang begitu mendalam
3.    Didasarkan faktor kesamaan
4.    Merupakan respons atas need for closeness and support
5.    Lebih spontan, biasanya dalam bentuk reaksi emosional    1.    Berasal dari bahasa yunani “ feeling in”
2.    Proses yang terjadi lebih mendalam
3.    Didasarkan pada penerimaan perbedaan individual
4.    Merupakan upaya-upaya pemahaman terhadap kondisi orang lain.
5.    Berbasis pada faktor kognitif dan afektif

D.    Makna Penting Empati
Menurut Rogers dalam Konseling dan Psikoterapi (Gunarsa Singgih, 1992, hal. 72), empati bukan hanya sesuatu yang bersifat kognitif namun meliputi emosi dan pengalaman. Juga diartikan sebagai usaha menglami dunia klien  sebagaimana klien mengalaminya. Karena itu, seorang kenselor harus berusaha memahami pengalaman klien dari sudut klien itu sendiri. Dalam makalahnya yang berjudul “ The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change ”(Kondisi Yang Harus Terjadi Dan Cukup Bagi Perubahan Pada Klien), Rogers mengemukakan tentang emphatic understanding, yakni kemampuan untuk memasuki dunia pribadi orang. Emphatic understanding merupakan salah satu dari tiga atribut yang harus dimiliki oleh seorang terapis dalam usaha mengubah perilaku klien. Atribut yang lain yaitu kewajaran atau keadaan sebenarnya (realness) dan menerima (acceptance) atau memperhatikan (care).
1.    Tanpa empati, tidak mungkin ada pengertian. Memahami secara empati merupakan kemampuan seseorang untuk memahami cara pandang dan perasaan orang lain. Memahami secara empati bukanlah memahami orang lain secara objektif, tetapi sebaliknya dia berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain  dengan cara orang lain tersebut berpikir dan merasakan atau melihat dirinya sendiri. Memahami klien berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan klien sendiri oleh Rogers disebut internal frame of reference, artinya menggunakan kerangka pemikiran internal.
2.    Menurut Rogers empati konselor sebagai salah satu factor kunci yang membantu klien untuk memecahkan masalah personalnya. Ketika kita berempati kepada orang lain, kita meletakkan diri kita “in their shoes”, melihat dunia dari mata mereka, membayangkan bagaimana bila menjadi mereka, dan berusaha merasakan apa yang mereka rasakan.
3.    Faktor sosial dan budaya (seperti gender, etnis, perbedaan kultur) mempunyai pengaruh dalam pengekspresian emosi. Faktor ini mempengaruhi cara bagaimana konselor merespon secara emosional.
4.    Jika klien merasa dimengerti, maka mereka akan lebih mudah membuka diri untuk mengungkapkan pengalaman mereka dan berbagi pengalaman tersebut dengan orang lain. Klien yang membagi pengalamannya secara mendalam memungkinkan untuk menilai kapan dan di mana mereka membutuhkan dukungan, dan potensi kesulitan yang membutuhkan fokus untuk rencana perubahan.
5.    Saat klien melihat empati pada diri konselor, mereka akan lebih nyaman untuk dan tidak melakukan defend seperti penyangkalan, penarikan diri, dll. Artinya empati konselor mampu memfasilitasi perubahan pada klien. Sebaliknya akan lebih mau membuka diri terhadap dunia luar dengan cara yang lebih konstruktif. Karena itulah istilah empati ditambah menjadi perkataan “emphatic understanding”.

E.    Mengkomunikasikan Empati
Empati membutuhkan kemampuan konselor dan usaha untuk menempatkan ia pada posisi klien dan memahami dunia klien. Tetapi empati sendiri tidak akan efektif bila tidak di barengi dengan kemampuan untuk mengkomunikasikan dan menunjukkan empati itu. Klien akan berfikir bahwa konselor berempati hanya jika mereka melihat dan percaya hal tersebut. Truax dan Carkhuff mengemukakan bahwa dalam memahami secara empati ini sangat perlu konselor menerima dan mengkomunikasikan baik secara verbal maupun non verbal, secara akurat dan penuh kepekaan tentang perasaan dan makna perasaan itu. Ada tiga aspek dalam empati menurut Patterson (1980), yaitu:
1.    Keharusan bahwa konselor mendengarkan klien dan mengkomunikasikan persepsinya kepada klien.
2.    Ada pengertian atau pemahaman konselor tentang dunia klien; dan
3.    Mengkomunikasikan pemahamannya kepada klien.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merespon:
1.    Respon harus pendek dan to the point, menangkap esensi dari perasaan dan situasi.
2.    Bukan pengulangan dari apa yang orang lain katakanya. Diulangi dalam kata yang berbeda.
3.    Harus lebih dalam dari apa yang telah dikatakan, seperti menebak perasaan yang tidak diungkapkan (jika terkaan itu salah hal ini bukanlah masalah. Klien akan membenarkan dan menjelaskan).
Egan (1975, dalam Ivey et al, 1987) membedakan dua tipe untuk memahami “emphatic understanding”, yakni :
1.    Empati primer, adalah empati sebagaimana dikemukakan oleh Rogers.
        Membentuk fondasi dan atmosfer inti helping relationship. Termasuk mendengarkan semua pesan dan meresponnya. Kemampuan paraphrasing dan merefleksikan perasaan konselor dengan baik akan memulai dasar empati untuk memahami klien.
    Contoh perkataan :
-      “  Sekarang saya bisa merasakan betapa sedih Anda pada waktu itu”.
-    ”   Saya dapat merasakan apa yang anda rasakan.”
-    ”   Saya memahami apa yang telah anda lakukan.”
-    ”   Saya mengerti apa yang anda inginkan.”
2.    Empati lanjutan (advanced accurate emphaty)
        Memahami hal yang tersembunyi dari klien, bentuk dasar dari empati lanjutan adalah memberi respon dan pemahaman terhadap hal yang tidak langsung dikatakan klien. Di mana konselor memberikan lebih dari dirinya dan seringkali membutuhkan upaya langsung untuk mempengaruhi klien. Karena informasi itu selalu subjektif bagi interpretasi individu, konselor harus menyusun kembali situasi, kepercayaan, atau pengalaman untuk membantu klien melihatnya dari perspektif yang berbeda dan mengecek apakah interpretasi itu sudah benar.
         Advanced emphaty lebih kritis, mendalam, dan membahas masalah yang sensitif oleh karena itu dapat menyebabkan klien bertambah stress. Untuk mencegah klien mengalami emosi berlebihan dan melakukan perlawanan respon empati konselor harus bersifat sementara dan hati-hati.
    Contoh perkataan : “ Saya akan merasa sedih juga” ; ”Dari apa yang kamu katakan......” ; ” Apakah hal ini ......?” ; ”Sepertinya hal ini .......”

F.    Empati dalam Berbagai Perspektif
    Perbedaan-perbedaan pandangan tidak hanya terjadi pada disiplin ilmu yang berbeda, dalam internal psikologi konsep empati dapat dipandang secara berbeda oleh aliran-aliran di dalamnya. Di bawah ini akan diuraikan pendekatan-pendekatan teoritis yang telah dikembangkan oleh tiga aliran utama psikologi, yaitu: psikoanalisis, behaviorisme, dan humanisme.
1.    Perspektif Psikoanalisis
Teori-teori psikoanalisis menggambarkan kemunculan konsep empati lebih pada konteks interaksi emosional antara ibu dan anak. Yaitu bagaimana seorang ibu mampu meredakan kemarahan anak, memberikan pelukan kehangatan yang menenangkan, memberikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi, dan seterusnya. Demikian pula tentang bagaimana anak bisa menempatkan diri dalam menanggapi ‘senioritas dan otoritas’ peran orang tua dalam keluarga.
Menurut psikoanalisis, empati merupakan pusat dari hubungan interpersonal. Dalam arti lain, kunci dari hubungan interpersonal adalah empati. Dalam hubungan keluarga, Harry S. Sullivan (salah satu tokoh psikoanalisis) memandang ibu dan anak berada di dalam satu ikatan hubungan empatik yang saling membutuhkan, dia menyebutnya sebagai empati primitif.
2.    Perspektif Behaviorisme
Para tokoh behaviorisme tertarik untuk menghubungkan empati dengan perilaku menolong yang diawali dengan sebuah pertanyaan mendasar “mengapa orang menolong”. Untuk menjawab pertanyaan ini mereka menjelaskan dengan berpijak pada teori classical conditioning dari Ivan Pavlov, yaitu perilaku menolong merupakan hasil dari pembelajaran sosial, yang meliputi conditioning (pembiasaan), modeling (keteladanan), dan insight (pemahaman).
Peranan pembelajaran dan perkembangan kognitif seiring dengan munculnya konsep empati telah dipahami oleh beberapa peneliti behaviorisme, meskipun kurang begitu diperhatikan. Misalnya, Aronfreed (2000) menyatakan bahwa empati dipelajari melalui proses pembelajaran di waktu anak-anak. Dalam pandangan ini empati berkembang melalui pengulangan-pengulangan perasaan anak melalui isyarat emosional orang lain.
Teori-teori Aronfreed lebih memfokuskan kepada perkembangan ketidaknyamanan personal dan aksi prososial daripada perkembangan terhadap sympathetic concern. Oleh karena itu, teori-teorinya lebih memfokuskan kepada mekanisme perkembangan empati.

3.    Perspektif Humanistik
Dalam teori-teori humanistik, khususnya dalam psikoterapi dikatakan bahwa hubungan terapeutik merupakan kunci sukses dalam psikoterapi. Namun demikian, menurut Bohart & Greenberg (1997), pengaruh yang besar tersebut masih kalah perannya dibandingkan dengan peranan empati. Hubungan terapeutik tidak akan sukses tanpa melibatkan empati didalamnya, Karena empati merupakan pintu masuk utama bagi kesuksesan sebuah terapi. Hal itu sejalan dengan pendapat Rogers (1986), bahwa empati adalah salah satu unsur kunci dalam menciptakan hubungan terapeutik.
Seiring dengan pertalian yang erat antara empati dan psikoterapi, hal itu menandakan bangkitnya ketertarikan terapis terhadap konsep-konsep empati untuk digunakan dalam praktik-praktik mereka. Ketertarikan mereka terlihat jelas pada periode 1960-an dan awal 1970. Dalam kurun waktu itu dilakukan sejumlah besar aktivitas penelitian untuk menguji hipotesis-hipotesis Carl Rogers tentang tiga kondisi terapis, yaitu penghargaan positif secara penuh, empati, dan hubungan keikhlasan (altruisme) antara klien dan terapis.

G.    Empati dalam Bidang-bidang Psikologi
    Satu abad setelah diperkenalkannya konsep empati, kini konsep empati telah berkembang luas khususnya dalam ilmu psikologi. Hal ini tidak lepas dari upaya-upaya simultan dari para ilmuwan untuk membangun konsep yang pada awal perkembangannya mengalami banyak pertentangan. Bidang-bidang psikologi yang secara intens mengembangkan konsep empati antara lain: psikologi kepribadian, psikoterapi, serta psikologi sosial dan perkembangan.
1.    Empati dalam Teori Kepribadian
Konsep empati relatif baru diperkenalkan dalam teori kepribadian, meskipun sesungguhnya secara implisit konsep empati telah masuk dalam teori kepribadian sejak awal digulirkannya. Karena semua yang dibicarakan dalam empati merupakan fenomena kepribadian. Para teoretikus lama sebenarnya tidak pernah mengkhususkan bahwa dirinya adalah teoretikus psikologi kepribadian, perkembangan, sosial maupun psikoterapi. Namun karena karya-karyanya banyak berpengaruh terhadap perkembangan bidang-bidang ilmu tersebut, para ilmuwan selanjutnya mengklasifikasikan mereka sesuai dengan bidang-bidang yang telah dibuat. Namun, ada beberapa ilmuwan yang tidak secara konsisten masuk hanya pada satu bidang, misalnya Carl Rogers. Ia dikenal sebagai ilmuwan lintas bidang, karena selain teori-teorinya banyak direfer oleh para ilmuwan dari psikologi kepribadian, teorinya juga diacu oleh para ilmuwan dalam bidang psikoterapi. Istilah empati sangat dekat dengan teori-teori konseling person-centered milik Rogers.
Sementara itu, Downey (1929) seorang psikolog yang cukup dikenal pada zamannya, memiliki ketertarikan dalam mengkaji konsep empati dari bidang ilmu estetika hingga kepribadian. Dalam memahami empati sebagai “feeling in”, Downey mengatakan bahwa hal itu tidak hanya mengandung arti sikap-sikap motorik dan emosional yang bersangkutan saja, melainkan juga diproyeksikan kepada orang lain (keluar dari diri yang bersangkutan).
Dalam buku kepribadian Gordon W. Allport Personality: A Psychological Interpretation yang ditulis pada tahun 1937 yang kemudian direvisi pada tahun 1961, Allport mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinatif pada diri seseorang di dalam pikiran, perasaan, dan perilaku terhadap orang lain. Dia memercayai bahwa empati berada diantara inferensi (dugaan, kesimpulan atas kondisi orang lain) dan intuisi. Dalam kesimpulan di buku kepribadiannya, Allport membuat pernyataan tentang teka-teki rentang antara intuisi dan inferensi. Pernyataannya itulah kelak yang dikenal sebagai empati.
Satu decade berikutnya, G. Murphy dalam bukunya Personality: A Biosocial Approach to Origins and Structure (1947) tentang kepribadian mendefinisikan empati sebagai “tanggung jawab”. Dia menjelaskan bahwa seseorang yang berempati itu harus dapat menempatkan diri sendiri pada kondisi orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Tiga tahun berikutnya (1950) dua tokoh psikologi kepribadian lainnya, Dollard dan Miller membuat standar definisi empati sebagai penyalinan (copying) perasaan-perasaan (feelings) atau tanggapan (responding) orang lain sesuai dengan tanda-tanda emosinya.
2.    Empati dalam Terapi
Empati didefinisikan oleh Rogers sebagai kemampuan untuk memandang kerangka berpikir internal orang lain secara akurat dengan komponen-komponen emosional yang saling berhubungan. Empati merupakan pengalaman individual seseorang yang seolah-olah berada pada posisi orang lain (Rogers, 1959). Namun sebaliknya psikoanalisis menekankan pada dorongan empati yang mengarah pada struktur ketidaksadaran terhadap pengalaman-pengalaman yang menitikberatkan pada eksistensi klien di dalam kehidupan, sementara bagi terapis-terapis client-centered, empati lebih memfokuskan pada pengalaman dan pemaknaan klien dari momen ke momen, dalam hal ini terapis mencoba secara imajinatif untuk memasuki pengalaman-pengalaman klien dalam mengemukakan pendapatnya dengan terapis (Bohart & Greenberg, 1997).
Dalam client-centered therapy, empati berbeda dengan anggapan-anggapan positif, dan simpati ataupun rasa iba. Menurut Rogers (1957), empati merupakan salah satu dari tiga “kondisi-kondisi terapeutik”, dimana menurutnya empati perlu dan penting untuk terjadinya perubahan terapeutik ke arah yang lebih baik. Rogers menyatakan empati bila dikomunikasikan dengan anggapan-anggapan positif akan memberikan kontribusi bagi klien untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
3.    Empati dalam Psikologi Sosial dan Perkembangan
Tonggak awal munculnya psikologi sosial ditandai dengan terbitnya buku An Introduction to Social Psychology karya McDougall (1908), hanya saja karya ini kurang begitu diminati oleh ilmuwan-ilmuwan lainnya. Selain McDougall, Allport (1924) juga menerbitkan buku Social Psychology. Dalam bukunya Allport banyak melakukan elaborasi atas topik-topik psikologi sosial yang ditulis oleh McDougall. Elaborasi Allport dibawa kepada wilayah-wilayah yang lebih mudah diterima kalangan ilmuwan lainnya pada waktu itu (American Psychology). Namun demikian, sebagaiman buku McDougall, dalam karya Allport ini masih belum menyinggung konsep empati.
Pada tahun 1960-an peminat kajian di bidang ini meningkat secara tajam. Meskipun pada bahasan awal tidak membahas konsep empati, namun mereka sudah mulai memperkenalkan variabel-variabel tergantung (dependent variables) dari empati, seperti helping, giving, intervening, dan lain sebagainya. Untuk menjelaskan variabel-variabel tergantung ini para ilmuwan menggunakan konsep-konsep motivasional, seperti altruism, dependence, mood, dan empati.

H.    Komponen-komponen Empati
1.    Komponen Kognitif
Komponen kognitif merupakan yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan beberapa ilmuan bahwa proses kognitif sangat berperan penting dalam proses empati.
Hoffman (2000) mendefinisikan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui pengalaman-pengalaman.
Fesback (1997) mendefinisikan aspek kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda.
Eisenberg dan Strayer (1987) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) dan orang lain.
Ada beberapa tingkatan-tingkatan dalam proses kognitif :
a.    Differenttiation of the self from others,  menurut piaget pada tahun pertama anak-anak belum mampu membedakan antara diri mereka dengan orang lain.
b.    The differentiation of emotional states, yang dimaksud adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat bentuk-bentuk emosi yang berbeda yang didasarkan pada kedua isyarat efektif dan situasional.
c.    Social referencing and emotional meaning, menjelaskan bahwa ekspresi-ekspresi emosional orang tua menjadi penuntun atau contoh (guide) perilaku-perilaku anak di dalam sejumlah situasi yang berbeda-beda, termasuk dalam berinteraksi dengan orang lain.
d.    Labelling different emotional states, sehubungan pada kondisi-kondisi emosi dasar telah dikemukakan bahwa anak-anak pada usia emapat hingga lima tahun memilki keakuratan berpikir. Pada usia-usia tersebut mereka sudah mulai membedakan atau memahami perbedaan-perbedaan ekspresi.
e.    Cognitive role taking ability, kemampuan menempatkan diri sendiri kedalam situasi orang lain dalam rangka untuk mengetahui secara tepat pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang itu (hoffman, 2000).
2.    Komponen Afektif
Dua komponen afaktif diperlukan untuk terjadinya pengalaman empati yaitu, kemampuan untuk mengalami secara emosi dan tingkat reaktivitas alam emosional yang memadai yaitu kecenderungan individu untuk bereaksi secara emosional terhadap situasi-situasi yang dihadapi termasuk emosi yang tampak pada orang lain. Untuk menjelaskan proses kogitif dan afektif ini, Oswald (1996) menggunakan konsep perspektif taking. Dia mendefinisikan perspektif taking sebagai konstrak  multidimensional yang dapat diatur secara konseptual dan metodis kedalam tiga kategori : ognitif, afektif, dan perseptual. Cognitive perspektive taking didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan orang lain.
3.    Komponen Kognitif dan Afektif
Thornton dan thornton (1995) melaporkan bahwa suatu alat ukur akan lebih mendekati pengertian empati9yang disetujui oleh sebagian besar ahli) dan lebih akurat, apabila instrument tersebut mengombinasikan dua pendekatan yaitu kognitif dan afektif.
4.    Komponen Komunikatif
Teoretikus mengatakan yang dimaksud komunikatif yaitu perilaku yang mengekspresikan perasaan-perasaan empatik (Bierhoff, 2002). menurut Wang dkk, (20003), komponen empati komunikatif adalah ekspresi dari pikiran-pikiran empatik (intelecctual empathy) dan perasaan-perasaan (empathic emotions) tehadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan.

I.    Proses Empati
    Dalam menjelaskan proses empati berbagai pendapat telah menegemukakan, diantaranya mengatakan proses empati tergantung dari sudut pandang apa kita mendefinisikan konsep empati.
1.    Antecedents
Antecedent yaitu kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya proses empati. Meliputi karakteristik observer (personal), target atau situasi yang terjadi saat itu. Empati sangat dipengaruhi oleh kapasitas pribadi observer. Seluruh reespon terhadap terhadap orang lain baik itu respon afektif maupun kognitif berasal dari beberapa konteks situasional khusus. Terdapat dua kondisi yaitu : kekuatan situasi (strength of the situation), dan tingkat persamaan antara observer dan target (the deggre of similarity beetwen observer and target).
2.    Processes
Terdapat tiga jenis proses empati :
-    Non cognitive processes , proses ini trjadinya empati disebabkan oleh proses-proses non kognitif artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang terjadi.
-    Simple cognitive procces pada jenis empati ini hanya membutuhkan sedikit proses kognitif. Misalnya bila seseorang melihat tanda-tanda kurang nyaman pada orang lain atau juga pada saat itu antara observer dan target keduanya sama-sama berada pada situasi yang kurang nyaman akan membuat observer mudah berempati.
-    Advance cognitive procces dimana munculnya empatik merupakan akibat dari ucapan atau bahasa yang disampaikan oleh target. Misanya ketika target seorang istri mengatakan “saya telah diceraikan oleh suami”. Barangkali ketika mengatakan kalimat itu, target tidak menunjukkan wajah sedih atau terlihat menderita, ia datar-datar saja mengatakannya. Namun observer meresponnya dengan sikap yang empatik. Sikap empatik yang ditunjukkan oleh observer ini merupakan proses yang dalam membutuhkan pemahaman yang tinggi terhadap situasi yang sedang terjadi.
3.    Intrapersonal Outcomes
Affective outcomes dibagi lagi dalam dua bentuk yaitu : parallel outcomes sering disebut dengan emotion matching yaitu, adanya keselarasan antara yang kita rasakan dengan yang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Dan reactive outcomes didefinisikan sebagai reaksi-reaksi afektif terhadap pengalaman-pengalaman orang lain yang berbeda. 
4.    Interpersonal Outcomes
Bila intrapersonal outcomes itu berefek pada diri observer, maka interpersonal outcomes berdampak kepada hubungan antara observer dengan target. Salah satunya bentuk dari interpersonal outcomes adalah munculnya helping behavior (perilaku menolong). Selain perilaku menolong empati juga dihubungkan dengan perilaku agresif.